Sepatu
Dahlan
Oleh Ilham Dwi Hatmawan
Muhammad
Dahlan. Ia merupakan anak dari keluarga kurang mampu yang tinggal di Kebon
Dalem, sebuah kampung yang menyimpan banyak kenangan baginya. Dahlan merupakan
anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakak perempuannya bersekolah di
perguruan tinggi dan adiknya, Zain masih sekolah di SR. Ayah Dahlan bekerja
serabutan sedangkan Ibunya adalah ahli pembuat batik di desanya.
Kehidupan
yang Dahlan alami penuh liku-liku. Walaupun begitu, Ia menjalani dengan
semangat dan ikhlas. Keinginan mungil Dahlan adalah memiliki sepasang sepatu
dan sebuah sepeda. Keinginannya inilah yang membawa Dahlan ke dalam petualangan
hidup yang penuh warna dan tidak dialami sebagian besar anak-anak pada masa
itu.
Saat
lulus dari Sekolah Rakyat, ia lulus dengan nilai pas-pasan. Saat itu ia merasa
gagal membanggakan orang tuanya. Cita-cita melanjutkan sekolah ke SMP
Magetan-pun pupus. Bukan karena nilai merahnya, namun sang ayah memiliki maksud
lain dengan mensekolahkan Dahlan ke MTs Takeran.
Pernah suatu hari Dahlan mencoba
membantu ibunya membatik, namun ia menumpahkan lilin dan merusak kain batik
yang dipesan tetangganya. Beberapa hari kemudian, sepulang sekolah Dahlan
mendapati ibunya tergeletak dan muntah darah. Panik. Jelas. Setelah itu ibunya
dirawat di rumah sakit di Madiun, dengan terpaksa Dahlan dan Zain ditinggalkan
di rumah sendirian. Karena kelaparan ia mencoba mencuri tebu, namun penjaga
kebun tersebut mengetahuinya dan menghukum Dahlan dengan hukuman paling ringan
yang pernah dijatuhkan kepada bocah pencuri tebu.
Esoknya, seperti biasa Dahlan
berangkat sekolah bersama kawannya. Hari itu ia bersama Maryati yang sedang
menaiki sepeda cantiknya. Maryati memaksa Dahlan untuk belajar sepeda pagi itu,
namun Dahlan, sepeda Maryati dan pemiliknya itu jatuh ke selokan. Tidak sengaja
Dahlan bertemu sesosok gadis cantik, Aisha namanya. Dengan pakaian basah kuyub
Dahlan terpaksa pulang kembali ke rumahnya. Tidak disangka saat pulang, Ibu
Dahlan telah berada di rumahnya tanpa nyawa. Mulai saat itulah kehidupan yang
menderita makin tersiksa tanpa sosok ibu di sampingnya. Sepeda Maryati yang
rusak harus diganti oleh beberapa ekor domba milik Dahlan.
Semenjak kelas II, Dahlan mulai
aktif dalam organisasi dan kegiatan sekolah. Dahlan terpilih sebagai pengurus
Ikatan Santri dan kapten tim bola voli MTs Takeran. Hingga pada suatu hari
Dahlan dan tim bola volinya dapat mengikuti perlombaan bola voli ditingkat
Kabupaten Magetan. Saat itulah keinginan akan sepatu makin menggebu-gebu.
Pertama kali bertanding, tim voli
Dahlan melawan SMP Bendu dan berhasil. Di babak final, mereka melawan SMP
terkuat saat itu, yakni SMP Magetan. Usaha keras selama ini membuahkan hasil
kemenangan dan membanggakan pelatih serta orang tua mereka. Semenjak pertandingan
itu, tim bola voli Gorang Gareng melirik Dahlan sebagai pelatihnya. Dengan upah
yang lumayan besar, Dahlan dapat membeli sepeda bekas dan tentunya sepatu baru.
Setiap pulang melatih tim bola voli Gorang Gareng, Aisha selalu menunggu Dahlan
untuk pulang bersamanya.
Saat melatih tim voli, pernah dengan
beraninya Dahlan mengeluarkan Fauzan, anak seorang saudagar di pabrik tersebut.
Namun sebagai bentuk tanggung jawabnya, Dahlan berani mengambil resiko yang
besar saat itu demi kemenangan tim asuhannya.
Suatu ketika, Kadir sahabatnya
bercerita bahwa ayahnya dahulu pernah tersangkut masalah Laskar Merah. Konon
itu hanya sebuah fitnah dan salah sasaran. Begitupula dengan ibunya. Ibu Kadir
saat itu juga menjadi korban salah tangkap. Cerita inilah yang membuat
persahabatan anatara Kadir dengan Imran hampir hancur. Orang tua Imran
meninggal karena dibunuh oleh pasukan Laskar Merah yang ganas. Namun ini hanya
salah paham dan dapat diselesaikan baik-baik.
Hari-hari dilalui Dahlan dengan
senang serta rasa cintanya kepada keluarga dan tentunya, Aisha. Gadis cantiik
pujaan hatinya. Makin hari rasa cintanya kepada Aisha makin besar dan tak
terbendung lagi. Akhirnya saat kelulusan Dahlan dari Madrasah Aliyah, tiba.
Lulus dengan nilai tertinggi merupakan kebanggaan tersendiri bagi Dahlan. Namun
Dahlan makin bingung dengan cita-citanya. Hidup di desanya atau merantau ke
kota untuk memperbaiki nasibnya. Sedangkan temannya yang lain sudah mempunyai
rencana mereka masing-masing.
Namun suatu ketika Aisha mengirim
surat harapan kepada Dahlan untuk mengikuti jejak Aisha untuk kuliah. Surat ini
membuat tekad Dahlan yang baru, kuliah. Dengan kalimatnya Dahlan berhasil
membujuk ayahnya untuk mengizinkan Dahlan kuliah. Selanjutnya mimpi-mimpi
Dahlan yang barupun bermunculan di benaknya. . .
Beginilah hidup Dahlan, penuh
keterbatasan. Namun keterbatasannya ini tidak membuatnya jatuh dan terpuruk,
justru menjadi sebuah penyemangat hidup untuk lebih baik dan dapat membanggakan
sekelilingnya. Keterbatasan sebenarnya akan menjadi sesuatu yang indah,
tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar